TEMPO.CO, Jakarta - Sandyawan Sumardi dari Komunitas Ciliwung Merdeka, mengatakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok bersikap tak adil dengan tetap menggusur permukiman warga Bukit Duri, Jakarta Selatan. "Katanya untuk kepentingan umum, tapi kenapa warga miskin yang berkorban," ujar Roomo Sandy, panggilan akrab Sandyawan.
Pada Rabu pagi, 28 September 2016, sekitar 400 personel gabungan Polisi Pamong Praja, kepolisian, dan tentara menggusur 80 bangunan, dari total 363 bangunan yang masuk daftar gusur di RT 06 RW 12 Kelurahan Bukit Duri. Penggusuran juga dilakukan di RT 06 RW 10, dekat Jembatan Kampung Melayu.
Baca juga:
Ingat Skandal Papa Minta Saham? Nama Novanto Dipulihkan: Aneh Sekali!
Rayuan Bos Polisi ke Jessica Wongso: Kamu Tipe Saya Banget
Pemerintah Jakarta menerbitkan surat perintah gusur setelah surat peringatan ketiga, yang terbit pada pekan sebelumnya, diabaikan penduduk. Pemerintah meminta penduduk membongkar sendiri rumah mereka dan pindah ke rumah susun Rawa Bebek di Jakarta Timur.
Pemerintah Jakarta tidak peduli terhadap gugatan class action warga Bukit Duri yang sampai saat ini masih berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Romo Sandyawan membandingkan penggusuran di Bukit Duri itu dengan reklamasi Teluk Jakarta. Di sana, kata dia, pengembang belum memiliki izin lingkungan dan izin mendirikan bangunan, tapi sudah membangun ruko dan didukung pemerintah. “Di sini ada yang punya sertifikat dan surat-surat tanah,” tutur Sandyawan yang sejak akhir 1990-an mendampingi warga pinggir Sungai Ciliwung.
PT Kapuk Naga Indah yang dimiliki perusahaan Agung Sedayu Grup memang membangun ratusan rumah toko (ruko) di Pulau C. Padahal, peraturan derah tata ruang di pulau tersebut belum dikeluarkan. Bahkan harga ruko, rumah, dan kaveling sudah terpampang dalam situs http://www.golfisland-pik.com/harga-developer-rumah-golf-island.html
Selanjutnya: grup perusahaan milik....